Selasa, 26 Maret 2013

Cerita seks Ngentot sama tante Ida Part 2


Keringatnya menetes-netes ke dadaku dan bau harum badannya tambah kuat karena hawa panas badannya. Harum sekali si ibu ini, pikirku sambil menikmati hentakan pinggulnya yang tambah cepat. Dan tiba-tiba Bu Etty kandas dan vaginanya merapat lagi dengan buah zakarku. Sekarang ia berputar-putar tanpa naik-turun. Terasa ujung penisku di dalam itu seperti diperas dengan kuat sekali dan.. “Srot.. srot..” aku meledak ledak tak terkendali lagi. Letih betul rasanya dan kami tertidur setelah itu.
Sorenya menjelang magrib aku terbangun dan Bu Etty masih telanjang bulat. Aku pelan-pelan bangun mau beranjak pulang mencari celanaku, tiba-tiba aku melihat ada orang di pintu mengintip dan ia tidak melihat aku di dekat kamar mandi. Rupanya Adelin keponakan Tante Ida yang kuliah di kota ini berkunjung. Aku kaget dan tidak tahu mesti apa. Wah kalau ketahuan tidak enak. Adelin cantik sekali anaknya dan seperti tantenya Ida dan Bu Etty, tubuhnya juga seksi sekali. Ah, untung dia melihat Bu Etty tidur dan dia pergi lagi. Sekarang bagaimana aku keluar nih. Pintu paviliun Bu Etty tidak pernah dibuka dan ada lemari di depannya. Ya sudah aku pakai baju kaos dan celanaku dulu deh. Pelan-pelan aku buka pintu kamar dan kuintip, wah si Adeline lagi sama Mbak Icih di dapur, aku mengendap-endap ke kamar tamu dan pura-pura duduk baca majalah.
“Lho ada kamu To,” ujar Adeline waktu masuk lagi dari dapur.
“Kamu ngapain? Aku nggak lihat kamu masuknya.”
“Aku mau baca majalah nih..” sahutku sekenanya.
“Ok, aku mau pergi dulu ya,” katanya sambil keluar.
“Tante Ida belum pulang ya?”
Adelin berputar dan ala mak pinggulnya seksi banget deh dan aku karena sudah ngeres melulu 2 hari ini langsung merasa desiran di penisku. Adeline pergi dan aku sendirian di ruang tamu menjelang petang dan aku jadi naik ke otak lagi.
Aku bangkit dan ngintip ke kamar Bu Etty. Wah masih tidur nyenyak habis di servis enak sih. Tiba-tiba ia bergulir miring membelakangi pintu dan aku, selimutnya tersingkap, wah pantatnya terlihat dan dari belakang bulu-bulu serta kemaluannya jadi kelihatan sudah deh si “Ujang” langsung bangun dan aku jadi bingung. Mestinya Tante Ida sebentar lagi pulang dan kalau aku main lagi takut ketahuan deh. Bu Etty bergeser lagi dan telungkup, kakinya terbuka dan aku bisa lihat jelas vaginanya. Lututku lemas dan nafasku menderu. Aku tidak kuat lagi, biarin ketahuan-ketahuan deh. Aku masuk dan kukunci pintu perlahan. Kubuka celana pendekku dan aku dekati pelan-pelan dari belakang. Kuendus-endus dulu sekitar vaginanya, wah ternyata masih basah, dan karena Bu Etty mengangkang sambil terlungkup aku bisa lihat jelas dalam cahaya senja yang masuk pas di garis pantatnya yang sintal dan besar itu. Aku berlutut dan pelan-pelan kudekatkan penisku. Pelan kuletakkan di mulut bibir vaginanya dan aku diam. Hmm, tidak bereaksi, kudorong pelan sekali mendesak bibir tebal itu. Masuk sedikit lagi, duh enaknya karena terasa hangat. Aku diam lagi menikmati dan kugerakkan sedikit halus sekali. Tiba-tiba Bu Etty bergerak lagi menggeser pantatnya dan “Bles..” malah masuk lagi, sekarang kepala penisku.. eh masih tidak bangun juga. Dengan halus sekali aku dorong lagi sedikit sekali, terasa berdenyut-denyut dinding vaginanya dan seperti “nggremet-grement”.
Duhh.. enak banget. Aku maju lagi. Tanganku bertelekan di ranjang tanpa kena tubuh Bu Etty, sudah rada pegel sih, tapi nafsuku sudah menderu-deru dan aku sudah tidak peduli apa-apa lagi habis enak sekali. Maju lagi sudah 3/4 batang masuk dan terasa ada aliran cairan ikut dari dalam. Tiba-tiba pintu terbuka dan Mbak Icih masuk dengan setumpuk pakaian baru disetrika. Dia tidak tahu rupanya karena kamarnya gelap bahwa ada orang di dalam. Aku panik dan sudah tidak bisa narik diri lagi. Mbak Icih menyalakan lampu dan dia terpana melihat kami. Dia lihat Bu Etty tidur, ya aku hanya bisa pucat dan diam karena kalau dicabut pasti bangun Bu Etty. Akhirnya aku hanya bisa meletakkan jariku di bibir bilang supaya Mbak Icih diam. Penisku langsung lemas dan Mbak Icih langsung keluar, untung dia tidak menjerit. Aku jadi hilang nafsu dan kutarik pelan-pelan batang yang sudah lembek itu dan aku cepetan pakai celana lagi.
Keluar dari kamar kulihat Mbak Icih terdiam di dekat dapur. Aku mau mendekat ke sana, tiba-tiba pintu depan terbuka dan Tante Ida pulang. Dalam hati aku bersyukur juga, kan tidak enak kalau pas lagi “ngegenjot” tadi. Rupanya waktu kukunci tidak benar masuknya karena pintunya belum tutup betul. Dasar kalau sudah nafsu begitu sudah tidak jalan otak dan rasa.
Aku panik dan Tante Ida melihat aku, hampir saja tidak terdengar.
“To cari majalah lagi?” tanyanya.
“Apa, apa.. Tante? Oh ya..”
“Kamu kenapa To, mana Ibu?” katanya sambil masuk ke dalam dan pantatnya disenggolkannya ke pantatku.
“Oh itu Ibu Etty tidur sore..” ujarku.
Aku masih bingung bagaimana dengan Mbak Icih. Tante Ida langsung ke dapur dan kudengar ia meminta Mbak Icih memanaskan makanan-makanan yang dibawanya. Hmm aman sedikit, kupikir dia sibuk.
“To, mau makan di sini?” tanya Tante Ida.
“Tidak deh.. aku disuruh jaga rumah kok Tante (he he..he jaga rumah malah setengah hari di rumah tetangga). Ayah dan ibu semua pada pergi ke Bogor pulangnya besok pagi-pagi.”
“Wah kamu sendiri ya,” kata Tante Ida sambil mengedipkan mata.
“I.. iya.. ya.. (wah tadi aku kunci rumah tidak ya)” jawabku sekenanya.
“Ya sudah, kamu mau pulang?”
“Iya iya..”
Aku masih bingung, sudah tidak tahu mesti apa tentang Mbak Icih.
“Nanti Tante ke sana deh lihat kamu,” katanya lagi sambil tersenyum berarti.
Aku lantaran bingung hanya bilang iya tanpa ekspresi.
“Kamu baik-baik saja To?” tanyanya lagi.
“Iya Tante.. pulang dulu ya.. itu majalah saya sudah rapikan lagi.”
Dan aku pulang sambil berdebar-debar apa yang akan terjadi nanti.
Pulang aku mandi, berusaha menenangkan diri. Dalam hati aku menyesel kenapa mengikuti nafsu saja, jadi kacau semua akhirnya, pikirku. Tapi ya sudah kupikir semua sudah terjadi, bagaimana nanti deh. Aku belum makan tapi sudah tidak kepinginan. Selesai mandi aku bereskan buku untuk besok, berusaha mengalihkan pikiran.

Tok tok tok..” ada yang mengetuk pintu samping. Kemudian aku ke situ, Tante Ida pikirku. Waktu itu aku tidak jadi senang mikir sebenarnya karena aku sendirian bisa main lagi sama Tante Ida di rumahku. Kubuka pintu, ternyata Mbak Icih membawa nampan dan katanya, “Mas To, ini dari Tante Ida, beliau ada tamu luar kota mesti ditemenin ke stasiun jemput saudara, katanya gitu dan ini disuruh makan dan Mbak disuruh nemenin Mas To sampai selesai makan. Bu Etty dan anak-anak juga ikut semua.” Aku bengong dan kupandang Mbak Icih biasa-biasa saja. Aku ambil nampan dan kukatakan,
“Tidak usah ditemenin deh Mbak, aku bisa.”
“Ah jangan Mas To entar saya dimarahin, lagian di rumah tidak ada orang, saya rada takut sendirian.”
“Lho sudah dikunci belum rumahnya,” tanyaku.
“Sudah Mas.”
“Iya sudah masuk deh Mbak!”

Aku makan dan Mbak Icih duduk di dingklik nonton TV, biasa sinetron “blo’on” Indonesia. Tiba-tiba Mbak Icih cekikan pelan, aku lihat di TV pas ada iklan, Srimulat rupanya. Aku masih mikir soal ketangkap tadi. Akhirnya aku ngomong to the point.
“Mbak Icih jangan cerita siapa-siapa ya soal tadi di kamar Bu Etty.”
“Oh itu tidak apa-apa kok Mas To, di rumah situ mah bebas saja. Hanya saya ya kaget saja karena tadi saya kira tidak ada orang.”
“Maksud Mbak gimana, bingung aku.”
“Oh gini loh Mas To. Kalau laki perempuan kan lumrah suka gituan.”
Aku jadi tambah bengong saja, ini orang ngomong apa sih.
“Mbak Icih kan sudah pernah kawin..” lanjutnya sambil senyum-senyum.
Dan di dingklik itu ia duduk sambil cerita sedikit sembarangan, sehingga sarungnya tersingkap di tengah. Aku menangkap pemandangan itu kelihatan betisnya, eh.. ini orang mulus juga. Biasanya orang dari desa suka kurang terawat, aku sekarang jadi melihat secara sadar, wah ini orang boleh juga.
Aku tidak jelas umurnya berapa, tapi orangnya rapi dan feminin. Buah dadanya kulihat naik-turun di balik kaos lusuh pemberian majikannya, barangkali kira-kira separuh Bu Etty dan Tante Ida deh. Si “Ujang” di balik celanaku terasa mulai bergerak-gerak lagi. Waktu itu sudah jam 07.00-an rasanya. Selesai makan aku sikat gigi di kamar mandi dan kudengar Mbak Icih beres-beres dan cuci piring. Keluar dari situ, kulihat Mbak Icih masih nyuci dan kupandang dari belakang. Mak.. pantatnya molek di balik ketatnya sarungnya itu tampak jelas. Aku berdiri di sampingnya dan kami saling memandang dan seperti ada kontak hati saja. Suasananya terasa seperti ada listriknya antara kami, dan aku ulurkan tanganku meraba pantatnya dan naik ke pinggangnya. Kupeluk dari belakang dan kumasukkan tanganku ke depan di bawah kaosnya, terasa BH-nya yang kasar menutup buah dadanya. Aku remas-remas dari luar BH-nya, dan terasa pantat Mbak Icih mundur merapat ke penisku bergeser-geser. Kucium kuduknya dan ia menggelinjang.
“Entar dulu Mas To, piringnya pecah entar,” ujarnya perlahan.
“Taruh saja dulu,” jawabku.
Aku tarik BH-nya ke atas dan mulai kuraba dengan telapak tanganku, kedua puting susunya yang segera saja mengeras sensitif sekali. Mbak Icih lemas dan bersandar ke aku dan ke tempat cuci piring. Penisku sudah tegang keras dan menusuk dari dalam celanaku ke pantatnya. Kuturunkan tanganku dan kulepaskan sarungnya dan jatuhlah sarungnya ke kakinya tinggal celana dalamnya dari kain bekas terigu itu. Tangan kananku masuk dan telapak tanganku menangkup di atas vaginanya, tangan kiriku masih meremas-remas buah dadanya. Celana dalamnya longgar dan kudorong ke bawah sampai ke lututnya dan kutarik dengan jari kakiku sampai turun ke pergelangan kakinya. Tangan Mbak Icih juga diulur ke belakang dan mencengkeram batang yang membara sambil ia mendesah kegelian. Kulihat lengan atasnya merinding-rinding, keenakan rupanya dia. Aku turunkan celanaku dan kemudian kuangkat pahanya sebelah dan kubisikkan, “Mbak taruh di atas pinggir bak itu..”
Jadi sekarang vaginanya pas terbuka di depan penisku yang sudah mengacung ke atas.
“Ini cara apa Mas To,” keluhnya, “Masukin dong Mas masukin!” Aku hanya maju-mundur mengarukkan penisku di sekitar pantatnya dan lubang vaginanya. Tanganku masih aktif meremas-remas terus buah dadanya. Mbak Icih berusaha menggapai batangku tapi aku menghindar dan Mbak Icih tambah kencang desahnya karena jariku sekarang memilin-milin bibir vaginanya dari depan sambil berusaha mencari klitoris yang tadi diajari Bu Etty. “Mass.. Mass.. Ayo dong.. masukin..!” keluhnya. Aku tarik BH-nya ke atas dan mulai kuraba dengan telapak tanganku kedua puting susunya yang segera saja mengeras sensitif sekali. Mbak Icih lemas dan bersandar ke aku dan ke tempat cuci piring. Penisku sudah tegang dengan keras dan menusuk dari dalam celanaku ke pantatnya. Kuturunkan tanganku dan kulepaskan sarungnya dan jatuhlah sarungnya ke kakinya tinggal celana dalamnya dari kain bekas terigu itu. Tangan kananku masuk dan telapak tanganku menangkup di atas vaginanya tangan kiriku masih meremas-remas buah dadanya. Celana dalamnya longgar dan kudorong ke bawah sampai ke lututnya dan kutarik dengan jari kakiku sampai turun ke pergelangan kakinya. Tangan Mbak Icih juga diulur ke belakang dan mencengkeram batang yang membara sambil ia mendesah kegelian, kulihat lengan atasnya merinding-rinding, keenakan rupanya dia. Aku turunkan celana dalamku dan kemudian kuangkat pahanya sebelah dan kubisikkan, “Mbak taruh di atas pinggir bak itu.” Jadi sekarang vaginanya pas terbuka di depan penisku yang sudah ngacung ke atas.
“Ini cara apa Mas To,” keluhnya, “Masukin dong Mas, masukin!” Aku hanya maju-mundur menggarukkan penisku di sekitar pantatnya dan nyundul-nyundul lubang vaginanya. Tanganku masih aktif meremas-remas terus buah dadanya. Mbak Icih berusaha menggapai batangku tapi aku menghindar dan Mbak Icih tambah kencang desahnya karena jariku sekarang memilin-milin bibir vaginanya di depan sambil berusaha mencari klitoris yang tadi diajari Bu Etty. “Mass.. Mass.. Ayo dong.. masukin..” Keluhnya mendesah-desah basah suaranya, menambah seru dan panas. Aku lepas t-shirt-ku dan kaos Mbak Icih, BH hitamnya yang sudah tersingkap kurengut dan telanjang bulatlah kami.
Aku terus sengaja hanya menciumi dan menggigiti telinganya, dan tiap kali merinding bulu tengkuknya, kelihatan pori-pori lengannya meremang dan ia menggelinjang geli. Penisku tergosok-gosok celah di antara bukit pantatnya tiap ia menggelinjang. Kupeluk terus dari belakang dan pahanya masih tetap di atas bak yang sebelah. Penis kugaruk-garukkan ke tepian lubangnya dan banjir cairan kental dari lubangnya tambah banyak, berkilap-kilap mengalir di sepanjang paha yang satu. Ia mencoba lagi menggapai penisku tapi aku mundur dan tetap kupelintir klitorisnya dan kugosok-gosok lembar dalam bibir vaginanya dengan ujung kuku. Mbak Icih tambah panik dan keluhannya seperti orang yang sudah mau menangis kepingin sekali. “Ahh Mas To, ayo dong masukinn Mass.. Mbak tidak kuat lagii..” kepalanya digoyang-goyangnya ke kanan ke kiri (katanya, orang ekstasi juga gitu ya).
P.S: Aku memang lagi iseng ingin eksperimen setelah dicakar, dicekik kepala penisku sama Bu Etty pertama kali, pas aku mau muncrat itu.. memang loh bener lebih enak, gayanya kalau tidak langsung digebrusin muncrat, dan kalau high dengan narkoba gitu ya. Amit-amit, aku tidak pernah mencoba sekali juga (habis menurutku goblok tuh yang main narkoba dan obat batuk hitam, apa urusannya, ya aku yang ngetik).
“Iya..” Mbak Icih membisikkanku dekat sekali telinganya dan mengembus ke lubang, kugigit juga sedikit anak telinganya. Kumasukkan sedikit dari bawah penisku ke mulut lubang vaginanya dan kupegang batang panisku dan kuputar-putar di gerbang itu tanpa aku dorong masuk. Mbak Icih berusaha memasukkan lebih dalam tapi kutarik kalau dia agak turun. “Mass.. jangan disiksa dong.. tusukkin tusukkinn..” jeritnya agak keras. Aku kaget juga, gila ini Mbak. Nafsunya sudah tidak terkendali lagi. Ya sudah aku masukkan setengah dan kugoyang pinggulku dan ia juga segera naik-turun. Tangan kiriku meremas-remas buah dadanya dan sambil memulir-mulir puting susunya yang sudah keras seperti kerikil. Erangan Mbak Icih menambah erotisnya, dan busyet.. empotan vaginanya bukan main, beda sekali dengan Bu Etty atau Tante Ida, agak kering tapi tetap enak sekali. Kepala penisku terasa digenggam beludru dengan mapan sekali. Berkunang-kunang rasanya mataku, kugigit lagi sedikit pundaknya sambil kuciumi terus kuduknya. Tangan Mbak Icih menjulur ke belakang dan meremas-remas bukit pantatku, sementara tanganku satu lagi juga tidak menganggur memoles-moles, kupetik-petik biji klitorisnya yang tambah nongol keluar. Gila ada sebesar kacang Garuda yang belum dikupas. Terasa keluar dari lubang sisi atas vaginanya, keras-keras empuk. Mbak Icih tambah menggerung-gerung, “Ahh.. ahh.. Mas Mass..” dan tiba-tiba ia turunkan kakinya dari bak dan menarik pantatku dan masuklah amblas sedalam-dalamnya penisku. Pantatnya menempel rapat sekali. Terasa lincir karena keringat kami yang sambil berdiri mengalir. {Bau badan Mbak Icih itu seperti bunga melati, sama dengan orang Cendana suka melati dia ini). Bersih, biar dia orang dari kampung tapi sepertinya mengerti kebersihan badan.

Kupeluk buah dadanya dalam tangkupan telapak tanganku dan ia membungkuk berpegangan ke bak dan pantatnya, pinggulnya berputar-putar, rasanya penisku diulek-ulek dan tiap kali ia berputar tambah cepat dan gelombang-gelombang sinyal kenikmatan mulai terbentuk seperti tsunami bergelora, “Aahk..” ia menjerit cukup kencang sampai aku sempat sekilas kaget berpikir, wah kalau kedengaran tetangga bisa gawat, tapi langsung hilang karena orgasmeku sudah menjelang. “Plok.. plek.. plekk..” bunyi tubuh kami beradu bercampur keringat dan cairan bau di sekitar situ sudah mesum sekali bau sex, edan. Meletuplah Mbak Icih dan erangan-erangannya terus menerus. Tiba-tiba cengkeraman vaginanya begitu kuat sampai aku menjerit karena agak sakit dan dikendorkannya sedikit. Aku pun tidak kuat lagi menahan, “Mbak Icihh..” kukandaskan dalam-dalam batang penisku dan zakarku rapat-rapat dengan bibir vaginanya, dan akhrinya kami saking lemasnya jatuh terduduk di depan bak cuci piring itu. Terengah-engah dan berpelukan telanjang bulat. Spermaku bertebaran di lantai dapur. “Mbak Mbak.. enak sekalii.. Mbak Icih hebat bangett..” Mukanya agak merengut dan aku sengaja tidak memberi tadi tubuhnya. “Mas To, aduh saya sudah beneran mau gila tadi rasanya.. untung masih inget kalau tidak saya sudah teriak kencang-kencang,” katanya sekarang sambil tertawa mengingat keadaan tadi.

“Tapi enak kan ya Mbak, capek tidak Mbak?”
“Nggak Mas To..” sergahnya dengan cepat.
“Sudah, entar tidur di sini saja deh Mbak Icih,” bujukku dengan penuh rencana.
“Entar saya kasih tahu Bu Etty atau Tante Ida kalau mereka pulang, aku bilang takut sendirian di sini.”
“Hi hi hi, mana mereka percaya Mas To.. mereka juga tahu lah..paling entar Bu Etty bilang biar dia yang temenin.. hi hi hi.. ” cekikan Mbak Icih menggodaku.
“Atau Mbak dan Bu Etty yang tidur di sini Mas To..”
Eh ini orang jahil pisan.
“Tapi pasti dikasih deh..” ujarnya lagi.
“Saya mandi dulu ya Mas To. Apa mau sama-sama mandi,” godanya lagi.
“Sudah deh Mas To, istirahat dulu kan sudah 2 hari ini capek,” lho kok dia tahu saja ya, padahal kemarin kan dia tidak lihat. Aku belum tahu dan tidak curiga lebih lanjut sampai beberapa waktu akhirnya aku mengerti, itu cerita lain lagi yang seru juga.
Aku manggut saja, memang remuk rasanya badanku terasa juga, dan dengan gontai aku masuk ke kamar dan aku juga mandi. Penisku kelihatan merah tua sekali kepalanya dan sekitar kulit di kepala penis kelihatan agak seperti lecet tapi aku tidak merasa sakit malah “baal”, kebanyakan kali ya. Hmm, kemarin pagi aku masih perjaka, luar biasa nasibku dalam 2 hari aku main dengan 3 cewek hebat-hebat. Sambil mandi aku melamun kenapa tidak dari dulu ya, tapi ya sudah memang jalannya gitu barangkali, batinku.
Setelah mandi aku baring-baring tetap telanjang, tidak ada siap siapa. Maksudnya menunggu Mbak Icih mandi dan Ibu Etty cs balik, kan aku mesti menelepon mereka. Eh, baru 3 menit aku ketiduran, bangun-bangun aku kaget sekali karena sudah tengah malam. Aku bangun dan kulihat Mbak Icih masih nonton TV, hanya pakai sarung dikembenin t-shirtnya entah kemana. Bahunya kuning bersih dan pinggang dan pinggulnya seksi sekali dilihat dari belakang.
“Mbak sudah makan?”
“Sudah Mas To, dan tadi Bu Etty ke sini, saya sudah kasih tahu juga, Mas To takut sendiri.”
“Apa kata Bu Etty?” tanyaku ingin tahu.
“Kata Ibu ya sudah temenin saja. Dan mereka katanya mau tidur juga capek.”
“Mas To mau makan lagi apa? Mbak gorengin nasi mau, mesti makan telor Mas, buat nambah tenaga,” katanya sambil senyum nakal.
Aku rasanya lesu dan lemas badanku.
“Tidak usah Mbak Icih, aku mau tidur lagi.. tapi Mbak Icih tidurnya ditempat saya ya.. kan ranjangnya besar sekali.”
“Ah malu Mas To..”
“Duh Mbak, apanya lagi yang malu, kan tidak ada siapa-siapa.”
“Iya deh Mas To, entar Mbak mau nonton dulu ini sinetron ya..”
Sialan sinetron jelek dia mau nonton, mana ada sih sinetron kita yang bagus, bukan sekalian bikin film biru munafik deh.
Besoknya pagi-pagi telepon membangunkan aku, “Kringg..”
“Ya hallo,” sambutku.
“Oh Toto ini Tante Ida, kamu lagi sibuk tidak? Bisa ke rumah Tante sekarang?”
Kontan saja mendengar suaranya si buyung mulai menggeliat. Dasar ngeres dan sudah ngerti.
“Tentu Tante, aku ke sana sekarang ya,” jawabku dengan gembira ria.
Setiba di rumahnya, Tante Ida sudah cantik berpakaian rapi mau pergi. Aku agak kecewa dan ia melihat itu.
“To, aku perlu pergi ke kantor Oom mau ngambil gaji. Dan sebentar lagi Ibu Etty pulang arisan dan dia lupa bawa kunci. Mbak Icih lagi nganter anak-anak ke pesta temen sekolah Ita. Kamu tidak keberatan kan jagain sebentar, paling seperempat jam lagi pulang kok Bu Etty,” ujarnya sambil memeluk pundakku.
Susunya nyengsol-nyengsol menyentuh lenganku. Uhh, sudah ingin remas saja deh, dan si buyung sudah separuh naik. Sialan hanya mau diminta menunggu rumah, batinku. Tadinya aku ingin tidur siang. Capai, habis krida hari ini.
Ya deh Tante Ida, tapi entar aku minta oleh-oleh ya,” kataku sambil meraba pantatnya dan seketika Tante Ida menggelinjang geli dan ia memeluk erat.
“Iya..” desahnya basah di daun telingaku.
“Aduh gelinyaa..”
Si “Ujang” langsung naik. Kumasukkan tanganku dari bawah blusnya dan kuremas-remas bagian bawah buah dadanya. Biar minta bonus sedikit, dan penisku kutempelkan di paha atas si tante biar dia tahu aku sudah siap. Tante Ida melenguh dan, “To, aku mesti pergi, entar telat, kasirnya tutup nih,” dan ditariknya tanganku lembut dan dengan terengah-engah ikut nafsu juga. “To, Tante usahakan pulang secepatnya deh, kamu sabar ya,” lenguhnya berusaha melepaskan remasanku.
Tapi sambil kepingin diteruskan juga sepertinya. Akhirnya lepas juga sambil terengah-engah dan parasnya merona merah Tante Ida keluar, jalannya agak terhuyung-huyung. Aku jamin celana dalamnya sudah basah lembab tuh. Tinggal aku sendirian. Ya sudah aku ambil majalah lagi dan aku baring-baring baca di kursi malas di kamar tamu. “Ahh..” aku meronta-ronta dan kok keras amat si buyung dan terasa disedot-sedot orang. Wah rupanya aku ketiduran dan mimpi, kupikir. Waktu kubuka mata aku terkejut melihat wajah tak kukenal, dan astaga aku sudah telanjang bulat. Tanganku terikat ke atas di kursi malas dan penisku sedang dilumat-lumat. Aku tak tahu siapa satu lagi wanita, aku hanya melihat kepalanya dan punggungnya telanjang. Kakiku, kakiku, walah terikat juga ke kiri dan kanan kursi malas. Aku masih setengah mengantuk dan bingung, sakit kepalaku rasanya terbangun tiba-tiba. Akhirnya aku sadar betul dan ketika kupalingkan muka ke kanan ada Bu Etty dan dan dia sudah bulat-bulat juga telanjang. “Bu.. saya diapakan ini,” kataku sambil nyengir keenakan. “Diam saja dah kamu,” kata Bu Etty tersenyum Ia bertolak pinggang dan duh buah dadanya menantang betul. Tapi tanganku tidak bisa mencapainya. Ini siapa Bu semuanya, saya mau diapakan sih?” Buah zakarku terasa geli sekali digaruk-garuk kuku wanita yang menyedoti penisku.
Aku menggelinjang geli, dan Bu Etty meraba puting susuku. “Ahh.. enakk..” dan tersiksa betul rasanya tanganku tidak bisa aktif, sudah ingin betul meremas susu Bu Etty yang gundal gandul di dekat bahuku. “Ini temen-temen Ibu, To. Bu Endah dan Bu Inggit. Kita tadi ngeliat kamu ketiduran dan ya seperti Ibu bilang ini temen-temen ibu itu lho,” katanya sambil menggeserkan buah dadanya di dadaku. Putingnya ditekannya ke putingku. Enak, empuk, hangat, dan seketika aku tambah bingung, lha tapi kenapa saya diikat. “Ya, kata Bu Etty kan kemarin itu kamu ngikat Mbak Icih. Ha ha.. ha.. nah kami tadi iseng pengen ngerjain kamu nih To.”
Hisapan Bu Endah terasa tambah menghebat, lidahnya berputar-putar di sekitar kepala penisku dan aku sudah tidak kuat lagi mau meledak. Dan kuangkat pantatku agar masuk lebih dalam. “Ehh..” Bu Endah malah berdiri dan melepaskan mulutnya. Wah tergantung aku. Dengan terengah-engah aku bilang, “Bu tolong dong Bu sedot lagii.. sudah mau muncrat nihh.. Buu..” Bu Endah, Bu Etty dan Bu Ingit tertawa ramai-ramai, dan aku belum sempat memperhatikan seksama buah dada mereka kontal kantil terguncang-guncang karena mereka tertawa melihat aku yang seperti cacing kepanasan. Mataku masih sepet dan berkunang-kunang dari ketiduran tadi. Bu Ingit kemudian mendekat dan mengangkang. Pantatnya mengarah ke mukaku dan ia mulai turun sambil memegang batang penisku, digosok-gosoknya ke mulut liang vaginanya dan aku mendesah lagi, karena enak sekali dan aku sudah siap meledakkan orgasmeku. Bu Endah menggosokkan buah dadanya ke mulutku yang langsung kontan saja aku sergap, dan putingnya kuhisap dan lidahku berputar-putar di kacang keras itu.
Bu Endah merem melek dan kulit buah dadanya yang bening kelihatan garis-garis hijau biru halus dan meremang pori-porinya. Bu Ingit masih hanya memasukkan separuh kepala penisku dan senut-senut kempotan bibir mulut vaginanya hangat dan enak sekali. Aku rasanya mau gila karena kenapa dia tidak memasukkan semuanya, aku berusaha menaikkan pantatku tapi Bu Ingit selalu menjaga jaraknya. Kurang ajar, dalam hatiku dan aku rasanya mau menjerit tapi mulutku disumpal buah dada kenyal. Kuku tajam jari Bu Etty terasa mulai menggaruk di sekitar duburku dan buah zakarku, menambah kebinalan di dalam otakku yang sudah tak bisa berpikir lagi. Aku hanya terengah-engah dalam siksaan ketiga ibu-ibu sexy sintal ini. Bisa dibayangkan, tidak semua mereka telanjang bulat (aku juga) dan aku tidak bisa semauku. Keningku terlihat kencang mengejang dan urat-urat dahiku keluar semua. Aku menggeram, “Ahh.. Ayo Buu.. aku pengen, tolong dong.. masukkin Bu..” Bu Endah menarik buah dadanya dan ia berlutut dan diturunkannya vaginanya ke mulutku, aku tak berdaya dan bau harum aku rasakan keluar dan hawa panas hangat dari vaginanya yang lembab.
Aku ulurkan keluar lidahku dan kujilat-jilat, Bu Endah melenguh, “Uuhh sedapnya,” dan pantatnya maju-mundur menggeruskan vaginanya di atas mulutku. Terus di gerus-geruskan bibir vaginanya ke mulutku dan terasa cairan-cairan dari dalam vaginanya meleleh masukk. Lidahku aktif menjilati lubangnya dan klitorisnya yang sebesar kacang ijo. Bu Etty sih sebesar kacang merah nongol. Bu Ingit sementara hanya berputar di atas kepala penisku. Telapak tangannya bertopang di atas pahaku dan sambil meraba-raba dengan halus. Gilaa.. pahaku digarisnya dengan kukunya yang panjang, “Alamakk.. gelii Bu..”
Bu Etty menungging dan merangkak ke dekat pantatku dan mulutnya mulai menjilat-jilat daerah yang digaruk-garuknya tadi, sekarang dijilatnya dengan lidahnya yang hangat, dan buah zakarku dikulum-kulum seperti lagi makan cupacup dan dijilatnya pelan-pelan seperti orang makan biji salak. Akhirnya aku tidak kuat lagi dan pantatku kunaikkan, kakiku mengejang. Bu Inggit terkejut dan cepat ia membenamkan penisku dalam-dalam dan diputir-putirnya pantatnya sampai kandas dan seketika letupan orgasmeku membanjir deras di dalam vagina Bu Inggit dan Bu Inggit sendiri menggarukkan klitorisnya di batangku dengan cepat dan pantatnya yang sintal berputar-putar, sebentar kemudian ia pun menahan jeritannya, “Ahh..” kemudian diangkatnya naik-turun, aku melihat bibir vaginanya keluar-masuk merekah belah oleh batang penisku yang basah mengkilap. Bulu kemaluannya basah kuyup dan bersatu. “Uukhh.. Ahh..”
Bu Inggit kemudian bangkit dan “Plop,” bunyi waktu penisku masih setengah tegang lepas dari genggaman erat vaginanya. Spermaku meleleh sepanjang pahanya yang putih. Bu Etty masih di bawah situ mengecup buah zakarku dan tertetes-tetes di pipinya beberapa gumpalan spermaku. Kami terengah-engah semua dan aku merasa nikmat yang luar biassa. Sepanjang beberapa jam itu aku gantian ditunggangi oleh Bu Endah kemudian terakhir Bu Etty, karena dia nyonya rumah jadi terakhir. Aku sendiri di servis demikian merasa sesuatu pengalaman yang lain dari yang lain. Belum pernah aku dimanjakan oleh 3 wanita sekaligus begitu. Malam itu aku ketiduran di antara ketiganya dalam keadaan telanjang bulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar